Hukum Adat Pertanahahan
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tanah memiliki peranan yang sangat
penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Tanah merupakan pendukung manusia
untuk memperoleh kesejahteraannya. Tanah bukan hanya sebatas lahan yang
digunakan untuk bertempat tinggal,tetapi juga menjadi tempat masyarakat untuk
dapat bertumbuh baik secara sosial,politik,ekonomi,budaya yang membentuk
komunitas masyarakat. Tetapi tidak jarang tanah dapat menjadi sumber konflik di
antara masyarakat. Indonesia sendiri telah banyak melewati masa-masa keras yang
menjadi konflik saat itu. Mulai dari diberlakukannya Agrarische Wet pada
tahun 1980,Regellings Reglement dan Indische Staatregeling.Dan
bahkan Indonesia telah mempunyai undang-undang khusus tentang Agraria pada
waktu itu yaitu Undang-undang pokok agraria(UUPA), yang dimana UU itu muncul
setelah indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sebagai
realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia, pemerintah berusaha
mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan
yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak
eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa
atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20
tahun sebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan
hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat
diberikan,karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak
erfpact.
Perjuangan memperkuat
kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain
pihak terjadi pada tahun 1860-1870,dengan memajukan rancangan wet yang
mengatur tentang pertanian yangdapat dilakukan di tanah-tanah bangsa Indonesia.
Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada
bukan bangsa Indonesia.Dalam rancangan tersebut dimuat antara lain:
1.
Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun,
2.
Persewaan tanah negara tidak dibenarkan,
3.
Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur,
4.
Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom,
5.
Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan,
6.
Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura,
Dengan
amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan
milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah
pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini
ditetapkan dengan S. 1870-55. Tangga1 24 September 1960 merupakan suatu tanggal
yang penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut
telah diundangkan dan mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” (Lembaga Negara 1960 No.104 n).
Dengan
lahirnya Hukum Agraria Nasional dengan nama populer UUPA,maka secara total
hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Denganhapusnya hukum Agraria Kolonial, maka
erupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat
menikmati sepenuhnya umi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini,
terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri. Hak-hak
atas tanah yang dipunyai oleh rakyat tani yang selama ini tidakmempunyai
.iaminan yang kuat, sekarang dengan berlega hati, telah dapat meminta agar tanahnya
dapat diberi perlindungan dengan hak-hakyang diberikan kepadanya.
Hukum
Agraria Nasional (UUPA) yang merupakan perombakan hukum Agraria Kolonial
bertujuan untuk memperbaiki kemba!i hubungan manusia Indonesia dengan tanah
yang selama ini sudah tidak jelas lagi. Perombakan hukum agraria kolonial itu
dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan
cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan
dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak
seseorang atas tanah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat
dan bagaimana Sistem Hukum Pertanahan yang memiliki kaitan erat dengan Hukum
Adat?
2. Bagaimana perkembangan Hukum Tanah
Adat di Indonesia?
3. Bagaimana implikasi Hukum Adat
terhadap Sistem Tanah Nasional?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum adat oleh Dra.Hj.
Rabiatul Adawiyah dan Reja Fahlevi, S.Pd,M.Pd. Dengan tujuan agar para pembaca dapat mengetahui
apa itu yang dimaksud dengan hukum adat, eksistensi hukum adat pada saat ini,
perkembangan Hukum Tanah Adat di Indonesia dan implikasi hukum adat dalam sistem hukum pertanahan nasional atau
sistem hukum agraria nasional. Karena saat ini banyak yang menyatakan sistem
hukum adat tidak memiliki kekuatan hukum karena bentuknya yang sebagian besar
tidak tertulis.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih jauh dari kata sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun dalam penulisan makalah ini sangat kami harapkan.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari masih jauh dari kata sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun dalam penulisan makalah ini sangat kami harapkan.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Defenisi Hukum Hukum Adat dan Sistem Hukum Pertanahan yang
memiliki kaitan erat dengan Hukum Adat
Hukum adat menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto adalah
keseluruhan adat ( yang tidak tertulis dan hidup di dalam masyarakat berupa
kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman ) yang merupakan akibat hukum. Hukum adat
pada saat kini selalu dipertanyakan kekuatan mengikatnya kedalam hukum positif
Indonesia, karena bentuk dari hukum adat adalah merupakan suatu hukum yang
tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari pengertian
tersebut seolah – olah hukum adat bertentangan dengan asas legalitas dalam
hukum positif Indonesia. Hukum adat seolah – olah hanya mengikat untuk
masyarakat pedesaan dan pedalaman. Padahal hukum adat adalah hukum murni bangsa
Indonesia yang eksistensinya tidak bisa dilupakan begitu saja. Hukum adat
adalah hukum yang hidup dan tumbuh dalam sendi – sendi kehidupan masyarakat.
Hukum adat tidak bisa mati karena akan selalu bergerak dinamis menyesuaikan
kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dalam sistem hukum agraria nasional atau hukum tanah
nasional hukum adat dijadikan sebagai sumber utam dalam penyusunanya. Hal
tersebut terdapat dalam pasal 5 Undang – Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960
yang berbunyi “ hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dlam peraturan – peraturan yang tercantum dalam Undang – Undang ini
sertaperaturan – peraturan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur –
unsur pada hukum agama.” Serta tercantum dalam pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960 “
dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak – hak
serupa itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang – undang dan peraturan – peraturan yang lebih tinggi
“. Dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa dalam hukum agraria nasioanl
bersumber dari sistem hukum adat dan masih menggap eksistensi hukum adat dalam
hukum agararia nasional.
Memang hukum agraria nasional bersumber dari hukum adat dan hukum adat dalam sistem hukum agraria nasional dijadikan sebagai pelengkap dari sumber hukum yang tertulis karena sistem dalam hukum adat yang kita kenal adalah sistem komunal atau lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Sistem tersebut dipercaya bisa memberikan dampak hukum yang positif bagi hukum agraria nasional. Hal lain sistem hukum adat dirasakan sebagai suatu tatanan hukum yang cocok bagi kepribadian hukum nasional.
Hukum positif yang berlaku saat ini khususnya hukum agraria nasional banyak sekali bersumber dan menjadikan hukum adat sebagai pedoman penyusunan hukum positif tersebut. Apabila suatu hukum positif pada umumnya atau hukum agraria pada khususnya bertentangan dengan sistem hukum adat maka hal tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif tidak akan pernah mati, karena sistem hukum adat bersifat elastik dan dinamik.
Memang hukum agraria nasional bersumber dari hukum adat dan hukum adat dalam sistem hukum agraria nasional dijadikan sebagai pelengkap dari sumber hukum yang tertulis karena sistem dalam hukum adat yang kita kenal adalah sistem komunal atau lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Sistem tersebut dipercaya bisa memberikan dampak hukum yang positif bagi hukum agraria nasional. Hal lain sistem hukum adat dirasakan sebagai suatu tatanan hukum yang cocok bagi kepribadian hukum nasional.
Hukum positif yang berlaku saat ini khususnya hukum agraria nasional banyak sekali bersumber dan menjadikan hukum adat sebagai pedoman penyusunan hukum positif tersebut. Apabila suatu hukum positif pada umumnya atau hukum agraria pada khususnya bertentangan dengan sistem hukum adat maka hal tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif tidak akan pernah mati, karena sistem hukum adat bersifat elastik dan dinamik.
II. Perkembangan Hukum Tanah Adat di Indonesia
·
Sebelum indonesia merdeka(Masa Sebelum Agrarische Wet)
Konflik
pendekatan antara golongan Liberal dan Golongan konservatif dibelanda
mengakibatkan raja mengeluarkan inruksi pada Gubernur Jendral utuk malakukan
suatu survey dijawa, pada tahun 1870 (hasil survey tahnah dijawa belum
disusun), pemerintah belanda mengeluarkan Agrarische Wet yang isinya menekankan
pada dua hal: dimungkinkannya peusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan
diakuinya eksistensi tanah-tanah pribumi atas hak adat mereka.
Kaum liberal menekankan perlunya
perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak
kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli
sehingga tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan
semua tanah yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara.
Oleh karena itu dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak
swasta untuk jangka waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang
rendah.Kaum konservatif menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk
asli atas tanah didasarkan pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan
bersama dan kebiasaan yang tidak dapat disatukan dengan konsep “hak milik” dari
Barat modern.
Tahun 1854, Partai Liberal, yang
telah berkembang menjadi partai yang berkuasa sejak tahun 1848, melakukan
pengawasan, melalui parlemen, atas masalah-masalah Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan suatu Rancangan
Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencita- citakan pengalihan
tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian didasarkan pada
pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu hambatan terhadap
pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah kepemilikan
perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah oleh orang
Eropa.[6] Golongan konsevatif
yang sejak mula menentang perusahaan swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan
melanggar hak-hak penduduk asli. Namun, dibalik itu adalah kekwatiran bahwa
pengakhiran milik bersama atas tanah, akan mengakibatkan suatu tingkat
“kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan swasta, dan mengakibatkan
kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.Fraksi yang menekankan
kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van Hoevell, mendukung pandangan
Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur tangan atas adat istiadat dan
pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini.
Sampai dengan awal abad ke-19
kebijakan Agrarische Wet tidak berubah secara mendasar, pemerintah hanya
mnegeluarkan aturan sewa tanah tahunan yang berlaku dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan kelompok Liberalisasi adalah:
1. Agar
pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai
Hak milik mutlak, (eigendom), yang memungkinkan penjualan dan penyewaan
karena tanah-tanah dibawah Hak komunal tidak diperkenankan untuk dijual atau
disewakan keluar;
2. Agar
denagn asas domein, pemerintah memberikan kesempatan kepada penguasa swasta
untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan muah yang nantinya diberikan
hak erfpacth.
Agrarisce Wet adalah suatu Undang-undang
(yang dalam bahasa belanda kata “Wet” berarti Undang-undang) yang dibuat
dinegeri Belanda pda taun 1870, Agrarisce Wet diundnagkan
dalam S-1870-55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pda pasal 62
regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854, semula terdiri dari 3 ayat.
Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan 8) Oleh Agrarisce Wet,
maka Regerings Reglement terdiri atas 8 ayat.Sebagai peraturan
pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20
Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit atau Perpu)
dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa
dan Madura sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur
dengan suatu ordonnantie.
Pada pasal 1. Agrarisch besluit,
dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring)
yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua
tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara
(domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang
hak milik) atau jika terbukti ada hak eigendom orang lain
diatasnya. Dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang
disamping berlakunya hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hak-
hak atas tanah dikenal hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata,
buku kedua, tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah,
seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak
pinjam (bruikleen).
Hak ulayat yang disebut juga dengan
hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat
tinggal pertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Di
dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap
anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan- batasan.
Persekutuan mengatur sampai di mana hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan
persekutuan. Ada hubungan erat hak persekutuan dengan hak perseorangan. Setiap
anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak Ulayat di wilayahnya
dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di
wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus
menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan
tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu
akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya.
Pada
masa penjajahan jepang, Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku
sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku,
karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan
untuk mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan. Tidak banyak yang dapat
diuraikan tentang hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan
keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hak- hak atas tanah
sebagaimana layaknya pada keadaan perang. Pemerintah jepang dalam melaksanakan
kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir sama dengan kebijakan yang
pemerintah hindia belanda.Penduduk jepang meneluarkan suatu kebijakan yang
dituangkan dalamOsamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu
Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.
Dalam
pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan bahwa
untuk sementara waktu dilarang keras memndahtanankan harta benda yang tidak
bergerak, suat-surat berharga, uang simpanan dibank, dan sebagainya dengan
tidak mendapat izin terlebi dahulu dari tentara Dai Nippon.
Terhadap tanah pertikelir diurus oleh kantor siryooty kanrikosyadimana
tanah-tanah pertikelir tidak lagi diusahakan ata dasar hak-hak pertuanan.
·
Masa Agrarische Wet
A.Domain Verklaring
Ketentuan Agrariasche Wet pelaksanaanya
diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantara yang perlu
dibahas adalah suatu koninklijk belsuit yang
dikenal dengan sebutan Agrarische belsuit. Ini diundangkan
dalam S.1870-118.
Agrarische
belsuit hamya berlaku dijawa dan madura, maka apayang
dinyatakan dalam pasal 1 yag berbunyi”dengan tidak mengurangi berlakunya ketenyuan
dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap diperahankan asas semua tanah yang
pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah
domein(milik)negara.” ini dikenal dengan sebagai domein Varklaring
(pernyataan dmein) semula juga berlaku ntuk jawa dan madura saja, tetapi
keudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan
langsung diluar jawa dan madura, dengan suatu ordonansi yang
diundanglan dalam S.1875-119.
Teori domein ini
menciptakan hak-hak barat tertentu, seperti hak eigendom, hak opstal dan hak
erfpacht, namun juga membiarkan hak-hak adat terus berlanjut sehinga dijawa
khususnya terdapat bermacam-macam hak yaitu hak milik adat, hak milik individu,
hak milik yang ddasarkan pada agrarische eigendom, hak milik yang
diberikan oleh pemerintahan belnda pada pribum ,hak milik kerajaan hak milik
sewa, membangun menusahakan hak-hak milik orang lain serta hak-hak atas tanah
pemerintah yang dikuasai oleh orang-orang asing asia(china yang berlokasi di jakarta,karawang
dan bekasi)
Dalam praktek pelaksanaan
perundang-undangan pertahanka domein verklaring,yang berfungsi:
1. Sebagai
landasan hukum begi pemerintah yang diwakili negara sebagai emilik tanah, untuk
memberikan tanah denagn hak-hak barat ang datur dalam KUHperdata, seperti
hak efparth, hakopstal dan lain-lainya. Dalam rangka
domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendomdilakukan
dengan cara pemindahan hak milik negara kepadapenerima tanah.
2.
Dibidang pembuktian
pemilikan.
Pada tahun 1874 pemerintah
mengeluarkan Staadblad nomor 97 yang menetapkan bahwa tanah-tanah dalam
kekuasan desa adalah tanah penggembalaan bersama, tanah untuk usaha pertanian
penduduknya secara terus-menerus, tanah ntik kepentingan umum, selain
tanah-tanah itu , ketika akan dipergunakan seharusnya dengan izin pemerintah.
Dalam kenyataanya, staadblad ini menimbulakan berbagai pertentanga. Denagn
adanya berbagai pertentanagn tersebut, pemerintah akhirnya hak-hak pribumi atas
kepemilikan sebidang tanah yang berasal dari pegolahan atau pengambilan hasil
hutan denagn cara diakui dan distujui oleh para tetngga, kepala desa dan
residen. Mulai saat itu terjadi penguatan konflik kepentingan antara masyarakat
adat dengan pemerintah mengenai tnah-tanah hak milik dan hak ulayat.
Lalu
pada masa itu juga ada yang disebut tanah-tanah Landerijenberzitrecht
oleh Gouw Giok Siong disebut sebagai tanah-tanah tioghoa,karena subyeknya
terbatas pada golongan asia timur teruta aorang cna, para golongan itu banayak
mempunyai tanah di sekitar jkarta, katawang dan bekasi yang disebut “tanah
pertikelir” denga “hak usaha”, seperti hak orang-prang pribumi
jikatanah partikelir yanbersagkutan kembali kepada negara, mak ahak usaha yang
memegang hak menjadi hak milik adat, yan subyeknya timur asing, semula apa yang
menjadi disebut “altijddurende erfpacht”, kemudian dengan S.1926-121 menjadiLanderijenberzitrecht pada
hakikatnya hak ini tidak berbeda dengan hak mlik adat.
Kemungkinan
bagi non pribumi untuk memperolah tanah hak adat dibatasi oleh
peraturan-peraturan yang dikenal sebagai larangan pengasingan tanah(ground
vervreemdingsverbod) yang diundangkan dalam S.1875-179, yang menyatakan bahwa
“hak milik adat atas tanah olen orang-orang pribum tidak dapat dipindahkan kepada
orang non pribumi”, oleh karena itu semua perbuatan yang bertuajan untuk secara
lagsung ataupun tidak secara langsung memindahkanya adalah batal karena
hukum.
·
SETELAH INDONESIA MERDEKA(Masa Sebelum terbentuknya
undang-undang pokok agraria(UUPA))
Pada periode setelah indonesia
mereka yaitu setelah pendudukan jepan berakhir diindonesia, banyak produk hukum
legislasi yang dikeluarkan termasuk produk hukum gararia, nasional. Produk hkum
agraria tersebut dapat dikerjakan dalam waktu yang snagat panjang pada periode
ini baru selsai setelah terjadi perubahan sistem politik atau
periode sesudahnya. Hukum agraria produk hukum ada janman kolonial
memilik karakter ekploatif, dualisik dan feodalik.Terutama adanya asas domein
varkring yang menyertainya, sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat, oleh karena itu timbl tuntutan segara diadakan
perbaharuan hukum agraria.
Meskipun bangsa Indonesia telah
memproklamirkan kemerdekaannya serta menciptakan suatu landasan ideal dan
Undang-undang Dasar, namun untuk melakukan perombakan hukum kolonial secara
total tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Beberapa
ketentuan agraria baru sebagai awal dari perombakan agrarian Kolonial antara
lain:
1.
Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah.
Oleh karena belum ada waktu yang cukup untuk mengatur
kedudukan tanah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pasal 33(3)
Undang-Undang Dasar 1945 maka untuk menyelamatkan aset negaral, agar dalam
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang kelak dibuat yang mengutamakan
hak warga Negara tidak semakin sulit perlu pengawasan tentang pemindahan
hak-hak Barat baik berupa serah pakai atau dengan cara lainnya yang melebihi
jangka waktu 1 tahun undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1952, menentukan tentang
pemindahan hak tanah-tanah dan benda tetap lainnya, menyebutkana penyerahan hak
pakai buat lebih dari setahun dari setahun perbuatan pemindahan hak mengenai
tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tahluk hukum Eropah hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Menteri Agraria.
2.
Penguasaan Tanah-Tanah
Sesuai dengan domein yang dianut oleh hukum agraria
pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada
eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang bebas
(vrijland'sdomein). Pada jaman penjajahan Jepang untuk memperlancar usaha-usaha
rangan-maka fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Kepada instansi atau
departemen diberi keleluasaan untuk mempergunakan hak tanah sebagaimana yang
dikehendakinya bahkan banyak pindahtangankan atau diterlantarkan. Untuk
menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang
Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan
pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan Menteri
Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau peraturan lain
telah diserahkan kepada suatu kementerian.
3.
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat
Sebagai akibat dari pemakaian tanah-tanah oleh rakyat
yang bukan haknya (tanah negara atau tanah hak orang lain), yang pada masa penjajahan
Jepang di perkenankan untuk menimbulkan krisis bahan makanan, di kwatirkan
keadaan ini semakin menimbulkan masalah, banyak tanah-tanah perkebunan menjadi
sasaran penggarapan rakyat, hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan.
Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat
terhadap tanah-tanah perkebunan dimaksud, maka dengan Undang-Undang Darurat
nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur ditugaskan untuk
mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai
penyelesaian pemakaian tanah itu. Di dalam penyelesaian pemakaian ini harus
diperhatikan kepentingan rakyat, kepetingan penduduk di tempat letaknya
perkebunan dan kedudukan Jun dalam perekonomian negara.
4.
Penghapusan Tanah- Tanah Partikulir
Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang
tercantum dalam landasan ideal Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan
adanya kehidupan yang adil dan merata sesuai dengan sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada
zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa
Indonesia harus segera dihapuskan, 'Ketentuan yang bertentangan itu antara lain
pengakuan tentang tanah-tanah partikulir. Oleh karena itu maka dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikulir ini dihapuskan. Yang
dimaksud dengan tanah partikulir dalam Undang-Undang inilah tanah eigendom di
atas mana pemiliknya sebelum Undang-Undangi berlaku mempunyai hak-hak pertuanan
(Pasal I UU No. I Tahun 58) Yang dimaksud dengan hak pertuanan ialah :
1.
hak untuk
mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala
kampung atau desa dan kepala-kepala umum.
2.
hak untuk
menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk.
3.
hak
mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa biaya atau hasil tanah dari penduduk.
4.
hak untuk
mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
5.
hak-hak yang
menurut peraturan lain dan/atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan.
Dengan dihapuskannya tanah-tanah
partikulir ini, maka tanah sebut menjadi tanah negara. Kepada pemilik
tanahdiberikan ganti rugi berupa uang atau bantuan lainnya. Berdasakan pada
ketentuan dalam Pasal II aturan perlihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut undnag-undang dasar ini”.Maka peraturan
perundang-undangan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial belanda masih
tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat membuat produk
hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa kemerdekaan.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut
pada tanggal 6 maret 1948. Presiden membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan
panitia tanah konvesi. Pada komisi ni lahir Undang-undang nomor 13 tahun 1948
yang mengahapus hak konversi, sementara sambil menunggu aturan lebih lanjut
meka pemerintah mengeluarkan ndang-undang darurat nomor 6 tahun
1951. Tentan perubahan peraturan persewaan tanah rakyat, kemudian undang-undang
ini dikukuhkan menjadi undang-undang no 6 tahun 1952. Kemudian pula dibentuk
undang-undang nomor 1 tahun 1952 tertanggal 2 januari 1952 yang kemudian
dikukuhkan menjadi undang-undnag nomor 24 tahun 1954 tentang pemindahan dan
pemakaian tanah-tanah dan baran tetap lainya. Yang mempunyai titel menurut
hukum eropa dan ditindak lanjuti denagn surat keputusan menteri kehakiman nomor
JS.5/1/19 tanggal 7 januari 1952 serta tambahan lembaan negara nomor
262.
Akhirnya di pertengahan tahun 1954
pemerinh indonesia dapat megeluarkan peraturantentang hukum agraria yaitu UU no
24 tahun 1954 tentang penetapan Undang-undang darurat tentang pemindahan hak
tanah-tanah dan barang-barang tetap lainya yang tunduk pada hukum eropa
Undang-undang yang berhasil dibuat oleh pemerinah
setelah merdeka sebelum lahirnya undang-undang pokok agraria (UUPA) antara
lain:
1.
UU no 13
tahun 1948 yang disempurnakan oleh UU no. 5 tahun 1950 tentang penghapusan hak
konversi.
2.
Undang-undang
nomor 1 tahun 1958 tetang tanah partikelir.
3.
UU no.6
tahun 1952 tentang perubahan persewaan tanah rakyat
4.
UU no.24
tahun 1954 tentang penambahan peraturan dalam pengawasan pemindahan hak atas
tanah
5.
UU no 78
tahun 1957 penarika besanya canon dan cijns
6.
UU darurat
no. 1 tahun 1956 tentang larangan dan penyesuaina pemakaian tanah tanpa izin
7.
UU no. 2
tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil
8.
Kepre no. 55
tahun 1955 dan undang-undang no. 7 1958. Dan masih banyak aturan-aturan yang
dibuat oleh pemerintah.
Adapun Sejarah pembentukan
undang-undang pokok agraria (UUPA) sebagai berikut :
Sejak awal kemerdekaan telah dibentuk komisi atau
panitia yan diberi tugas menyusun dasar-dasar ukum araria yang baru, panitia
tersebut diantaranya adalah:
1. Panitia
Agraria Jogja, dengan penetapan Presiden no. 16 tahun 1948, panitia ini menghasilkan
12 butir saran yang disampaikan kepada DPR bulan juli 1948;
2. Panitia
Agararia Jakarta, 19 maret 1951 dengan putusan presiden no. 36 tahun 1951,
panitia jogja dibubarkan dan digantikan oleh panitia jakarta yang dikuasai oleh
Sarimi Reksodihardjo, wakil ketua sadjarwo, sarimin digantikan oleh singgih
Praptodihardjo sehubungan diangkatnya menjadi gubernur Nusa tenggara. Panitia
jakarta menghasil kan 5 kesimpulan;
3. Panitia
Shuwardjodengan keputusan presiden no 1 tanggal 9 maret 1956 , panitia ini
diberi tugas untuk mempersiapka Rancangan undang-undang Pokok
agraria.
4. Rancangan
sunardjo, diajukan kepada DPR tanggal 24 april 1958 disebut rancangan sunardjo
karena pada sat itu menteri agraria yang mewakili pemerintah mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR adalah sunardjo, setelah dibahas, DPR membentuk
panitia Ad Hoc yang diketuai oleh AM.tambunan.
Dalam pembahasan dan persetujuan RUU
Agararia ini, yang diajukan kepada DPR-GR yang diketuai pada waktu itu oleh
Haji Zainun arifin dalm sidang pleno 12 september 1960. Dalam pembahsan ini DPR
hanya melakukan 3 kali sidang yaitu pada tanggal 12,13,14 september 1960 pagi,
seluruhnya hanya diperlukan 6 jam saja pembicaraan , untuk periapan pembicaraan
diperlukan seluruhnya lebih dari 45 jam, diantaranya lebih dari 20 jam untuk
pertemuan informal diluar forum resmi sidang.
Pengesahan, pengundangan dan
berlakunaya pada hari sabtu tanggal 24 september 1960. Rancangan undang-undnag
yang telah disetujua oleh DPR-GR tersebut disahkan Presiden soekarno menjadi
undang-undang no. 5 tahun 1960.denagn peraturan dasar pokok-pokok agraria.
Masa diberlakukanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tahun 1960 merupakan tahun keemasan
bagi hukum agraria nasional, karena pada tahun tersebut lahir Undang-undang
nomor 5 tahun 1960 yang disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya
UUPA yang memakan waktu 12 tahun penggodokan memiliki arti penting bagi masalah
pertanahan nasional khususnya bagi kaum tani. Tidak heran jika sempat juga
dikeluarkan keputusan Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 24 September
merupakan hari lahir UUPA sebagai hari Tani. UUPA bermaksud untuk
mengatasi dualisme hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan
sumber-sumber agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda
Agrarisch Wet 1870 dan hukum adat. Dengan demikian, UUPA 1960 merupakan hukum
nasional yang baru yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan
agraria dan ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama
pentingnya perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani
miskin). Namun demikian, UUPA 1960 yang memberi legitimasi secara formal
terhadap pelaksanaan Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land
Reform di Indonesia, sejauh ini tidak bisa disimpulkan bahwa UUPA 1960
telah dijalankan.
Peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan yang dicabut karena berunya Undang-undang pokok agraria,
antara lain:
1.
Seluruh
pasal 51 IS.jadi juga termasuk ayat-ayat yang merupakan Agrarich Wet,
2.
Semua
pernyataan domein dari pemerintah hindia belanda
3.
Peraturan
mengenai Hak agrarische Eigendom (S.1872-117 dan S.1873-38)
4.
Pasal-pasal buku
ke II Kitab undang-undang hukum perdata sepanjang mengenai agraria.
Pada era ini aroma kapitalisme lebih
kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria.
Dalam pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam
yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan
sektoral sepanjang 32 tahun (Noer Fauzi, 2007). Kondisi ini tidak memberi ruang
yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya
ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat
sehingga memicu maraknya konflik agraria dibelakang hari.
Masa Demokrasi terpimpin Masa Orde baru
Program landreform memiliki tujuan
untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi warga negara Indonesia,
terutama kaum tani. Juga untuk menghapus sistem tuan tanah dan pemilikan tanah
tanpa batas. Dalam hal ini, pemilikan tanah tanpa batas tidak diperkenankan
lagi sehingga diatur luas maksimum tanah yang dapat dimiliki. Kelebihan tanah
dari batas maksimum itu diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk
kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan dalam program redistribusi
tanah. Sejak awal pelaksanaannya tahun 1961, program landreform sering dianggap
sebagai gagasan PKI, konsepsi komunis, lebih-lebih setelah terjadinya Gerakan
30 September PKI. Dengan dibubarkannya partai komunis itu, dianggap perlu juga
untuk membubarkan program landreform dan tanah-tanah yang telah diredistribusi
kepada rakyat harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Padahal, konsep
landreform yang memberi penggantian kerugian berbeda dengan konsepsi komunis di
mana tanah diambil negara tanpa suatu ganti rugi. Jatuhnya Soekarno sebagai
Pemimpin Besar Revolusi ternyata tidak menyurutkan pelaksanaan landreform. Di
bawah payung Orde Baru, landreform tetap dijalankan. Bahkan Presiden Soeharto
sendiri menyatakan, ìPelaksanaan landreform harus berjalan terus, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan agar supaya diselesaikan
pelaksanannya secepatnya”.
Namun, sekali lagi, tujuan mulia ini
hanya sebatas pintu gerbang. Dalam praktek, pemerintahan Orde Baru mengupayakan
pengelolaan lahan seluas-luasnya bagi pengusaha pemilik modal. Hal ini sesuai
dengan arah politik pemerintah Orde Baru saat itu yang ingin mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Rekayasa dan intimidasi menjadi bagian dari
praktek-praktek pelepasan hak atas tanah dari rakyat petani kecil. Kini, ketika
angin reformasi berhembus, ketika Orde Baru tumbang, kaum petani kembali ambil
suara. Mereka menuntut kembali tanah-tanah mereka yang dulu diambil dalam
gerakan reclaiming. Tidak jarang reclaiming tersebut dibarengi dengan
ketegangan fisik dan upaya-upaya destruktif.
Masa Reformasi
Momentum tersebut semakin
menggelinding dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Selanjutnya pidato politik
Presiden RI pada 31 Januari 2007 tentang reforma agraria menyebutkan bahwa
program reforma agraria dilakukan secara bertahap dengan mengalokasikan tanah
bagi rakyat termiskin. Menurut SBY tanah tersebut berasal dari hutan konversi
dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan
rakyat (Pidato Politik Presiden 2007).
Selanjutnya BPN-RI mengusung sebuah program yang
disebut dengan PPAN (Program
Pembaruan Agraria Nasional) yang
didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta
hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari
tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Joyo Winoto, 2006 dalam Noer Fauzi,
2007).Namun program yang telah dicanangkan sejak 2006 tersebut hingga akhir
2008 ini belum juga terealisasi. Peraturan Pemerintah yang diharapkan menjadi
payung hukumnya juga belum ditandatangai oleh Presiden RI. Belum lagi
permasalahan isi materi tentang alokasi yang adil bagi petani miskin. Reforma
agraria yang disampaikan oleh SBY tersebut masih pada retorika politik yang
belum menunjukkan tanda-tanda realisasi.Kekhawatiran para penggiat reforma
agraria adalah bahwa kekuatan neoliberalisme di negara kita sudah sangat kuat. Sistem yang kapitalistik ini sudah semakin meresap ke dalam sistem kita.
Reforma agraria yang bernafas populis dan berpihak kepada rakyat dianggap tidak
mencerminkan negara yang menjunjung tinggi liberalisasi ekonomi. Watak era
sekarang sama dengan orde baru, aroma kental kepentingan modal (kapitalisme).
Saat ini petani yang memperjuangkan tanahnya rentan untuk dikriminalisasi oleh negara karena dianggap melanggar UU No.18 Thn. 2004 tentang Perkebunan. Untuk Sumatera Utara saja kriminalisasi terhadap petani antara lain terjadi pada kasus ditahannya 29 warga Banjaran Secanggang Langkat pada Juni 2008 lalu, kriminalisasi terhadap para petani di Pergulaan Serdang Bedagai, kriminalisasi terhadap petani di Maria Hombang Simalungun.
Catatan tentang permasalahan konflik dan sengketa yang terjadi menurut Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut tentunya bisa muncul karena adanya ketidakadilan dan merupakan cerminan belum terpenuhinya hak-hak rakyat
Ada rentang waktu yang sangat panjang yakni 48 tahun sejak UUPA diundangkan sampai dengan 2008 ini. Namun belum terlihat kebijakan yang signifikan yang mewujudkan keadilan agraria tersebut. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada selanjutnya ternyata banyak yang tidak senafas dengan semangat UUPA seperti UU No.11/1967 Tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU No.25/2007 tentang Penanam Modal, UU No.1/1974 tentang Pengairan dan UU No. 9/1985 tentang Perikanan.Harapan tentang reforma agraria yang sejati tentunya masih menjadi cita-cita bersama yang harus juga didorong secara bersama-sama. Niat baik negara masih terus ditunggu untuk secara bersungguh-sungguh dalam menjalankan janji-janjinya. Bersungguh-sungguh berarti benar-benar memberikan keadilan bagi para petani miskin yang tidak memiliki tanah sebagai alat produksi.
Saat ini petani yang memperjuangkan tanahnya rentan untuk dikriminalisasi oleh negara karena dianggap melanggar UU No.18 Thn. 2004 tentang Perkebunan. Untuk Sumatera Utara saja kriminalisasi terhadap petani antara lain terjadi pada kasus ditahannya 29 warga Banjaran Secanggang Langkat pada Juni 2008 lalu, kriminalisasi terhadap para petani di Pergulaan Serdang Bedagai, kriminalisasi terhadap petani di Maria Hombang Simalungun.
Catatan tentang permasalahan konflik dan sengketa yang terjadi menurut Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut tentunya bisa muncul karena adanya ketidakadilan dan merupakan cerminan belum terpenuhinya hak-hak rakyat
Ada rentang waktu yang sangat panjang yakni 48 tahun sejak UUPA diundangkan sampai dengan 2008 ini. Namun belum terlihat kebijakan yang signifikan yang mewujudkan keadilan agraria tersebut. Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada selanjutnya ternyata banyak yang tidak senafas dengan semangat UUPA seperti UU No.11/1967 Tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan, UU No.25/2007 tentang Penanam Modal, UU No.1/1974 tentang Pengairan dan UU No. 9/1985 tentang Perikanan.Harapan tentang reforma agraria yang sejati tentunya masih menjadi cita-cita bersama yang harus juga didorong secara bersama-sama. Niat baik negara masih terus ditunggu untuk secara bersungguh-sungguh dalam menjalankan janji-janjinya. Bersungguh-sungguh berarti benar-benar memberikan keadilan bagi para petani miskin yang tidak memiliki tanah sebagai alat produksi.
III. Implikasi Hukum Adat terhadap Sistem Tanah Nasional
Hukum agraria nasional menurut UUPA No. 5 Tahun
1960 adalah suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing – masing mengatur
hak – hak penguasaan atas sumber daya alam yang meliputi hukum tanah, hukum
air, hukum pertambangan, hukum perikanan, dan hukum penguasaan atas tenaga dan
unsur – unsur dalam ruang angkasa, tapi dalam makalah ini saya batasi hanya
dalam sistem hukum tanah. Pengetian hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan
hukum yang tertulis dan tidak tertulis yang semuanya mempunyai obyek pengaturan
yang sama, yaitu hak – hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum dan
sebagi hubungan hukum konkrit, beraspek perdata yang dapat disusun dan
dipelajari secara sistematis hingga keseluruhanya menjadi suatu kesatuan yang
merupakan suatu sistem.
Dalam pasal 3 UUPA no. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa dalam hukum agraria nasional bersumber dan mengakui adanya hukum adat atau hak – hak ulayat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberikan kewenangan tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah. Dalam UUPA dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Agraria Ka. BPN No. 5 tahun 1999 hak – hak ulayat diakui dengan syarat eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai dengan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Selanjutnya kriteria eksistensinya hukum adat adalah adanya hak ulayat, tanah ulayat, dan berlaku serta ditaati warga masyarakat. Dalam hal tersebut jelas UUPA masih mengakui adanya hak – hak ulayat dan hhukum adat.dalam UUPA juga dijelaskan peranan hukum adat dalam pembangunan hukum atanh nasional adalah sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional dan sebagai pelengkap hukum tanah nasional tertulis. Hukum adat adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung unsur nasional yang asli dan sifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berasaskan keseimbangan dan meliputi
Dalam pasal 3 UUPA no. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa dalam hukum agraria nasional bersumber dan mengakui adanya hukum adat atau hak – hak ulayat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberikan kewenangan tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah. Dalam UUPA dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Agraria Ka. BPN No. 5 tahun 1999 hak – hak ulayat diakui dengan syarat eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai dengan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Selanjutnya kriteria eksistensinya hukum adat adalah adanya hak ulayat, tanah ulayat, dan berlaku serta ditaati warga masyarakat. Dalam hal tersebut jelas UUPA masih mengakui adanya hak – hak ulayat dan hhukum adat.dalam UUPA juga dijelaskan peranan hukum adat dalam pembangunan hukum atanh nasional adalah sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional dan sebagai pelengkap hukum tanah nasional tertulis. Hukum adat adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung unsur nasional yang asli dan sifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berasaskan keseimbangan dan meliputi
Oleh suasana keagamaan
Dalam UUPA pengertian hukuma dat meliputi lima aspek yaitu, konsepsi, asas, lembaga hukum, sistem, dan norma yang tertulis. Konsepsi hukum adat meliputi sistem komunalisitik, religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan, karena pada hakekatnya sistem adat mengunakan asas komunal atau lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Konsepsi hukum adat diakomodasikan dalam pasal 1 ayat ( 2 ), pasal 6, pasal 3, dan pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960. sedangkan asas – asas hukum tanah adat meliputi asas religiusitas ( pasal 1 UUPA ), asa kebangsaan ( Pasal 1, 2, 5 ayat ( 1 ) UUPA ), asas demokrasi ( Pasal 9 ayat ( 2 ) UUPA ), asas kemasyarakatan pemerataan dan keadilan sosial ( pasal 6, 7, 10, 11, 13 UUPA ), asas pengunaan dan pemeliharaan secara berencana ( pasal 14, 15 UUPA ), asas pemisahan horisontal tanah dengan bangunan dan tanah diatasnya. Sedangkan lembaga hukum adat dalam hukum tanah nasional disempurnakan dan disesuaikan seperti HGU, HGB, pendaftaran tanah, dll.
Dalam UUPA pengertian hukuma dat meliputi lima aspek yaitu, konsepsi, asas, lembaga hukum, sistem, dan norma yang tertulis. Konsepsi hukum adat meliputi sistem komunalisitik, religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan, karena pada hakekatnya sistem adat mengunakan asas komunal atau lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Konsepsi hukum adat diakomodasikan dalam pasal 1 ayat ( 2 ), pasal 6, pasal 3, dan pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960. sedangkan asas – asas hukum tanah adat meliputi asas religiusitas ( pasal 1 UUPA ), asa kebangsaan ( Pasal 1, 2, 5 ayat ( 1 ) UUPA ), asas demokrasi ( Pasal 9 ayat ( 2 ) UUPA ), asas kemasyarakatan pemerataan dan keadilan sosial ( pasal 6, 7, 10, 11, 13 UUPA ), asas pengunaan dan pemeliharaan secara berencana ( pasal 14, 15 UUPA ), asas pemisahan horisontal tanah dengan bangunan dan tanah diatasnya. Sedangkan lembaga hukum adat dalam hukum tanah nasional disempurnakan dan disesuaikan seperti HGU, HGB, pendaftaran tanah, dll.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum adat adalah hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat serta hukum
asli masyarakat Indonesia yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung unsur
nasional yang asli dan bersifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berdasarkan
keseimbangan dan diliputi oleh suasana keagamaan. Hukum adat bersifat elastis
dan dinamis atau bergerak berdasarkan kehidupan masyarakat untuk mencapai
tujuanya, karena apabila hukum adat tidak bergerak secara elastik dan dinamis
maka hukum itu tidak akan bisa diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adat
tidak akan penah mati karena terus bergerak mengikuti kehidupan masyarakat yang
kompleks.
Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau masa sekarang. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif Indonesia tetapHukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau masa sekarang. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif Indonesia tetap ada. Hukum adat dan hukum positif saling melengkapi antara satu dengan lainya. Hukum positif tidak akan pernah bertentangan dengan hukum adat, begitupun hukum adat juga tidak akan bertentangan dengan hukum positif. Hukum adat dan hukum positif harus bergerak mengikuti perubahan masyarakat secara elastik dan dinamis.
Dalam UUPA masih mengunakan sumber hukum adat sebagai pedoman penyusunanya. Hukum adat menjadikan sumber utama serta pelengkap dari hukum tertulis atas tanah. Penyusunan hukum tanah nasional tidak boleh bertentangan dengan sistem tanah adat serta harus berdasarkan hak – hak ulayat yang msih berlaku. Syarat diakuinya hak ulayat dalam UUPA adalah eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Berdasarkan pasal 1, 2, 4, 9, 16 UUPA dapat disimpulkan dan diketahui bahwa hukum tanah adat mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah.
Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau masa sekarang. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif Indonesia tetapHukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau masa sekarang. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif Indonesia tetap ada. Hukum adat dan hukum positif saling melengkapi antara satu dengan lainya. Hukum positif tidak akan pernah bertentangan dengan hukum adat, begitupun hukum adat juga tidak akan bertentangan dengan hukum positif. Hukum adat dan hukum positif harus bergerak mengikuti perubahan masyarakat secara elastik dan dinamis.
Dalam UUPA masih mengunakan sumber hukum adat sebagai pedoman penyusunanya. Hukum adat menjadikan sumber utama serta pelengkap dari hukum tertulis atas tanah. Penyusunan hukum tanah nasional tidak boleh bertentangan dengan sistem tanah adat serta harus berdasarkan hak – hak ulayat yang msih berlaku. Syarat diakuinya hak ulayat dalam UUPA adalah eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Berdasarkan pasal 1, 2, 4, 9, 16 UUPA dapat disimpulkan dan diketahui bahwa hukum tanah adat mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Post a Comment